Siantar men siantar men, anak siantar do au kawan
Namanya Gelleng, artinya kecil. Memang tubuhnya kecil. Tapi nyalinya…, preman pun takut padanya.
Kisah ini ditulis Alvin Nasution, seorang wartawan suratkabar di Kota Pematang Siantar, Sumut.
APA YANG ANDA bayangkan bila mendengar sebutan “preman Siantar”? Menyeramkan; lelaki brewok berambut gondrong, penuh tato, nekat, hilir mudik di terminal, punya nyawa sebelas, dan selalu berlaku kriminal.
Preman Siantar, Sebutan itu cukup mentereng di tahun 1980-an, terutama di wilayah Sumatera Utara tapi tetap familiar sampai ke Pulau Jawa. Hmm… aku sendiri tak tahu asal muasal sebutan Preman Siantar itu. Tapi jujur saja, mendengar sebutan Preman Siantar, nyaliku ciut. Terutama bila aku sedang berada di Kota Pematangsiantar, terlebih di Terminal Parluasan.
Dulu, mungkin tujuh tahun lalu, aku punya teman yang menggantungkan hidup di kerasnya terminal Parluasan, Pematangsiantar. Gelarnya si Gelleng. Aku tak tahu nama aslinya. Si Gelleng ini memanglah berperawakan gelleng (kecil). Suaranya saja yang lantang. Seharian, si Gelleng ini mondar-mandir di Terminal Parluasan. Apa saja dikerjakan yang penting menghasilkan uang biar bisa minum tuak dan sarapan pagi; ngagen, jual buku bacaan, sampai mencopet.
Perkenalanku dengan si Gelleng adalah tidak sengaja. Ketika itu aku libur sekolah (SMA) dan hendak menemui uwak di Pematangsiantar. Aku naik bus merek Koperasi dari Porsea dan tiba di Terminal Parluasan sekitar pukul 6 sore. Di sinilah awal perkenalanku dengan si Gelleng.
Saat aku menginjakkan kaki di Parluasan, dua lelaki bertubuh kerempeng (bukan si Gelleng yang kumaksud) mendekati aku. “Mau kemana lae?” kata seorang di antaranya.
“Mau pulang ke rumah,” kataku. Lalu orang yang menyapaku itu menyodorkan buku TTS. “Ambillah lae,” katanya.
“Tidak lae,” kujawab sambil melangkah. Tapi mereka tetap menguntitku dan terus menyodorkan buku TTS tadi. Di sini aku sadar, bahwa aku sedang berhadapan dengan masalah. “Apakah ini yang dikatakan Preman Siantar,” gumamku ketika itu.
Kehadiran kedua lelaki jungkis yang tangannya penuh tato itu membuat aku terusik, tapi aku terus melangkah ke luar terminal. Maksudku mencari mopen (angkot) agar aku bisa meninggalkan mereka. Tapi meleset, tak satupun mopen melintas dari hadapanku.
“Ambil lae dulu satu! Jangan kelewat kali! Belum makan ini!” tandasnya tanpa tedeng aling-aling.
Pikirku, biar beres, aku ambil sajalah. “Marilah satu, berapa harganya?”
“Dua puluh ribu,” katanya lepas.
“Ah mahal kali lae. Aku tak punya uang segitu. Tapi kalau tiga ribu aku ambil,” kataku mencoba nego.
“Banyak kali ceritamu. Kalau tak mau ambil bilang saja. Jangan bilang tak punya uang. Kucakari nanti kantongmu, dan kalau ada uangmu, cemmana!” pungkasnya.
Uangku memang ada. Sekitar Rp50 ribu. Tapi kalau aku beli TTS dengan harga Rp20 ribu tentu saja rencana liburanku di Siantar harus dipercepat. “Lima ribulah,” kataku.
Sial, mereka enggan. Ngotot minta Rp20 ribu. Karena aku juga ngotot, akhirnya mereka mengancam. “Lae, ini sudah malam. Jangan gara-gara dua puluh ribu, lae tak bisa pulang. Dari tadi ngotot kali kutengok lae,” katanya kasar dan mulai menarik tas ranselku. Aku berontak.
“Jangan macam-macam kau. Kalau kau mau selamat, mari dompetmu!” tandas mereka.
Nyaliku langsung ciut ketika salah satu dari mereka mencabut garpu dari balik pinggangnya. Garpu itu dimodiv hingga berbentuk trisula. “Mari dompetmu, anjing! Jangan banyak kali gayamu!”
Aku diam. Kubiarkan mereka menjambret tasku yang berisi pakaian dan handuk. Tas itu dicakari mereka. Tapi yang mereka cari tak ada.
“Mari dompetmu. Cepat!”
Kali ini tak kuberikan. Tapi akhirnya mereka menyanderaku lalu membawaku ke balik tembok terminal. Di situ aku dipreteli. Dompet berisi uang lebih lima puluh ribu plus jam tangan merek casio sudah berpindah tangan. Bogem mentah sempat juga kuterima. Aku hanya pasrah menyaksikan kedua lelaki keparat itu pergi meninggalkan aku. Dan di bawah keputusasaan, aku tetap ingin ke rumah uwak. Jadi, kuputuskan bayar ongkos mopen setelah tiba di rumah uwak saja. Atau setidaknya aku akan kabur tanpa bayar ongkos, begitu pikiranku ketika itu.
Kucegat mopen warna merah berpintu belakang. Kulihat seorang lelaki kecil berwajah seram di dalamnya. Tapi aku sudah tak peduli lagi. “Mau kemana kau!” kata lelaki bertubuh kecil tapi suaranya lantang.
“Pulang bang,” kujawab.
”Anak kos kau ya?” katanya.
“Enggak.”
“Jadi kok bawa tas kau?”
“Mau tempat uwak.”
“Mari dulu duitmu!”
“Tak ada bang.”
“Kau bohong saja pun.”
“Betul bang. Tadi aku ‘dikompas’ di terminal. Semua uangku diambil. Ongkosku saja tak ada lagi,” kataku. “Sial, preman Siantar lagi,” gumamku.
“Mau pulang kemana kau?”
“Ke Tomuan bang.”
“Di mana kau di Tomuan?”
“Di Santiago bang.”
“Aku orang Santiago. Kok gak pernah kau kutengok?”
“Iya bang. Aku cuma mau libur ke tempat uwak. Aku tinggal di Porsea.”
“Siapa uwakmu di Santiago?”
“Si A Nasution.”
“Si A Nasution? Akh, yang benar kau!”
“Iya bang.”
“Masih tanda kau kan orangnya yang ngompas kau itu? Ayo turun kita di sini biar kita cari dia,” kata lelaki bertubuh kecil itu.
Singkat cerita, kami menemukan kedua lelaki yang ngompas aku itu di terminal. Keduanya sedang menenggak tuak. Anehnya, begitu melihat lelaki kecil yang bersamaku, keduanya langsung menyerahkan uang dan jam tangan casioku. Rupanya, setelah lama berkenalan, aku tahu bahwa pria bertubuh kecil yang menolongku itu bernama si Gelleng, seorang preman yang disegani sesama preman di Siantar. Walau badan kecil, nyalinya besaaarrr!
Preman Siantar sekarang
Sepengamatanku, terminal Parluasan atau terminal Pasar Horas Pematangsiantar tak seangker dulu lagi. Ini setelah Jenderal Sutanto meniup genderang perang terhadap aksi-aksi premanisme, judi, dan narkoba. Siantar sekarang bisa dikatakan jauh lebih aman dari aksi-aksi premanisme.
Dulu, preman Siantar diplesetkan dengan ikon “Siantarman”. Apalagi, Siantar memang dikenal sebagai surganya judi. Tapi itu dulu. Siantarman sekarang sudah menjadi ikon positif bagi orang Siantar yang sukses meniti karir. Mereka yang sukses itu dinamakan Siantarman. Bahkan, salah satu koran lokal di Siantar pernah membuat sebuah rubrik Siantarman. Materinya adalah cerita orang-orang Siantar yang sukses dalam berkarir.
Di samping polisi rajin merazia preman (bahkan yang tak punya KTP dikatakan preman), masyarakat di Siantar juga sudah tidak takut dengan aksi-aksi premanisme. Masyarakat sudah berani mengadu ke polisi. Terbukti, sejak judi dan aksi premanisme diberangus, banyak preman yang digaruk dari sejumlah lokasi, terutama di sekitaran pasar dan terminal. Jadi sekarang, Siantar tak lagi seram. Siantar; sejuk, kalem. Ayo ke Siantar!